Waktu melambat kala kita saling
membenci. Kebencian membuat kita berpikir celaka akan suatu hal, sangat
melelahkan pilihan itu. Mampukah kesombongan manusia melawan irama alam?
Jangan pernah khawatir kalian tak akan
kebagian ujian Tuhan. Bukankah Allah telah berfirman:
“Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah – buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang – orang yang
sabar. (yaitu) Orang – orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘inna
lillahi wa innailaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang – orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155-157).
Telah jelas itu semua maka untuk
apa kalian bersedih ketika manusia membencimu.
Telah pasti juga Tuhan memiliki ragam cara dalam mengasihimu selama kalian
meletakkan hidup kepadaNya.
Aku bertanya kepadamu, bagaimana
engkau menjelaskan dengan sederhana tentang kata ikhlas?
Engkau menutup mata sebentar lalu
menatap keatas dan berkata (aku suka gayamu yang begitu), Ikhlas bagiku bagai
cara orang – orang yang mengakatan pada akhir ceritanya “Nggih pun pripun maleh”.
Lalu kau diam menatapku dengan maksud agar aku menjabarkan maksud kata –
katamu. Selalu begitu, ketika aku bertanya engkau malah membuat pernyataan yang
membuatku berpikir.
Selalu begitu.....
Kucoba pahami alurmu. ‘Nggih pun pripun
maleh’ adalah ketika kehidupan tak sesuai rancangan kita dan kita sudah mengusahakannya,
manusia dengan segala kerendah hatiannya musti menerima keputusan Tuhan dengan
sikap positif.
Setelah kau mendengar pendapatku,
kau hanya mengangkat alis dan berkata "kira kira begitulah"......
Aku tau itu artinya kau kurang
puas dengan pendapatku. Namun kau sendiri pun selalu susah menumpahkan isi
pikiranmu dengan sederhana. Kau sedikit memaksa orang lain untuk memahaminya. Masih kuingat kata - katamu, 'jika diamku saja kau tak mengerti bagaimana kau memahami kata - kataku'.
Sebelum mengakhiri perbincangan
itu kau hanya mengatakan “pada akhirnya kehidupan ini adalah nggih pun pripun maleh.”